Pengulangan Isim Ma’rifah Dan Isim Nakirah
Makalah ini
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Qawaid
Tafsir
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Rohimin.
M. Ag
DisusunOleh:
Intan Melati Utami : NIM. 212 342 9520
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) BENGKULU
FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAKWAH
PRODI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
2013-2014
A. Pendahuluan
Kalam
menurut makna etimologi nya adaalah pembicaraan atau ucapan. Tetapi
makna terminology nya dapat berbeda beda sesuai tinjauan aneka disiplin
ilmu. Al Qur’an al Karim adalah Kalam Allah. Hakikat kalam Allah tidak kita
ketahui karena kalam Nya adalah sifat zat Nya yang mustahil dijangkau oleh
makhluk, termasuk manusia. Namun demikian, dalam konteks penafsiran al Qur’an
kita dapat menjangkau sekelumit dari kalam Nya, karena yang Mahakuasa itu
menyampaikan kalam Nya kepada kita dengan menggunakan bahasa manusia yang dalam
hal ini adalah bahasa arab.
Allah
berfirman:
$¯RÎ) çm»oYù=yèy_ $ºRºuäöè% $|Î/ttã öNà6¯=yè©9 cqè=É)÷ès? ÇÌÈ
3. Sesungguhnya kami menjadikan Al Quran dalam
bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). (QS. Az Zukhruf :43)
Ini
bearti bahwa kalam Allah itu menggunakan bahsa yang dikenal dan digunakan oleh
masyarakat pada masa turunnya. Ini bearti juga bahwa kita memiliki potensi
untuk memahami Kalam Allah yang
berbahasa arab itu dengan perangkat yang digunakan oleh Bahasa Arab.
Pakar
pakar dalam bidang tatab Bahasa Arab menyatakan bahwa:
الكلام
هو اللفظ المركب المفيد
Kalam
adalah lafazh lafazh yang tersusun dan mimiliki makna.
Ketersusunannya
ditandai oleh minimal dua kata itu memiliki makna tertentu. Mereka juga
menegaskan bahwa ada tiga unsure dari apa yang disebut kalam atau pembicaraan,
yaitu: 1) Isim (إسم /
noun), 2) Fi’il (فعل / Verb), 3) Huruf (حرف ).
B.
Pembahasan
Kita
akan membahas sedikit mengenai salah satu unsure diatas. Yakni, Isim (إسم) / kata benda. Isim adalah kata yang memiliki makna tanpa
berkaitan dengan masa. Bahasan para pakar menyangkut Isim beraneka ragam. Salah satu bahasan mereka mengenainai sifat
nya.
Sifatnya,
yakni Ma’rifah (معرفة) / definite atau Nakirah (نكرة) / indefinite. Ma’rifah adalah nama yang menunjuk kepada
sesuatu yang telah diketahui/tertentu, seperti kata Muhammad (محمد) at-Tilmidz (التلميذ) / Murid itu, sedang Nakirah adalah lawannya, seperti kata
Tha’ir (طائر)
/ burung, Tilmidz (تلميذ) tanpa alif dan lam/ murid.
Satu
nama dinilai berbentuk ma’rifah apabila ia merupakan salah satu dari hal
hal berikut:
1)
Dhama’ir ( الضمائر) /Noun/pengganti nama, sepeerti Huwa (هو( /Dia (Maskulin) atau Hiya (هي) /Dia (feminine).
2)
‘Alam (علم) / tanda, yakni kata yang telah dikenal luas
bagi sesuatu, seperti nama kota yang terkenal, Jakarta, Mekkah.
3)
Ism al Isyarah (الإشارة
إسم) yakni lafazh
yang mengandung makna isyarat, seperti Hadza (هذا) / ini, atau Dzalika (ذالك) / itu.
4)
Isim Maushul (الموصول إسم) seperti al Ladzina (الذين) atau al ladzi (الذي)
5)
Al Muhalla bi’al (المحلى بأل) yakni yang
awal lafazh nya dimulai dengan al (ال ), seperti kata ar Rajul (الرجل)
6)
Al Mudhaf ila Ma’rifah(إلى
المعرفة المضاف ) yakni kata yang disandarkan kepada sesuatu yang bersifat
ma’rifat, seperti( موسىكتاب ) / kitab ya Nabi Musa.
7)
Yang disertai dengan kata yang
mengandung makna panggilan, seperti ya( يا)
dan sebagainya.
Dalam
konteks ma’rifah dan nakirah para pakar mengemukakan rumusan
kaidah yang dapat diterapkan pada umumnya ayat ayat al Qur’an, yaitu:
1)
Pengulangan kata yang sama dalam
suatu rangkaian kaliamat yang keduanya dalam bentuk ma’rifat, maka itu –secara
umum- mengandung makna bahwa yang kedua sama dengan yang pertama, sedang
pengulangan Nakirah menunjukkan bahwa yang pertama bukan yang kedua.”
Salah
satu contoh nya adalah firman Nya dalam QS. Asy Syarh [94]: 5-6
فإن مع العسر يسرا ,
إن مع العسر يسرا
“Karena
sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan
ada kemudahan”
Ayat
diatas menggunakan bentuk Ma’rifat/definite untuk kata al ‘Usr (العسر) /kesulitan, sedang kata Yusr (يسر) berbentuk Nakirah / indefinite. Ini bearti
kesulitan yang disebut pada ayat 6 sama dengan kesulitan yang disebut pada ayat
5, sedang kemudahan yang disebut pada ayat 6 berbeda dengan kemudahan yang
disebut pada ayat 5, sehingga ini bearti bahwa bahwa setiap ada satu kesulitan,
maka di celahnya/bersamanya ada dua kemudahan.
2)
Sedang bila yang pertama Nakirah dan
yang kedua Ma’rifah, maka yang kedua sama dengan yang pertama”.
Seperti
firman Allah:
كما أرسلنا إلى فرعون
رسولا . فعصى فرعون الرسول
“…..sebagaimana Kami mengutus kepada Firaun
rasul, lalu Firaun mendurhakai rasul (itu)” (QS. Al Muzzammil [73] :15-16
3)
Bila sebaliknya, yang pertama
Ma’rifah dan yang kedua Nakirah, maka ini diperlukan pengamatan indicator untuk
merumuskan maknanya. Karena terkadang sangat berbeda maknanya”.
Seperti
kata sya’ah yang terulang dalam firman Nya:
و يوم تقوم الساعة
يقسم المجرمون ما لبثوا غير ساعة
“Pada hari datangnya as Sa’ah (kiamat) para pendurhaka
bersumpah: Mereka tidak tinggal di dunia kecuali sesaat (waktu yang singkat)” (QS. Ar Rum
[30]: 55
Memang,
kaidah ini tidak selalu demikian, namun paling tidak ia dapat menjadi patokan
pemahaman. Sekali lagi, kaidah ini tidak berlaku umum, tetapi kebanyakan
demikian itu halnya. Salah satu bukti bahwa kaidah di atas tidak selalu
demikian adalah firman Allah dalam QS. Az Zukhruf [43]: 84
وهوالذي فى السماء
إله و فى الأرض إله و هو الحكيم العليم
Pada
ayat diatas kata Ilah (إله) berulang dua kali, sekali dalam kaitan nya dengan as sama’
(السماء) / langit dan dikali kedua dalam kaitannya dengan al ardh
(الأرض) / bumi. Jika kaidah diatas diterapkan, maka itu dapat bearti
bahwa Tuhan yang di langit berbثda dengan Tuhan
yang ada di bumi.
Karena
itu, salah satu jalan keluar yang diberikan oleh pakar adalah memahami kata Ilah
(إله) dalam arti “ketuhanan” bukan “Tuhan” sehingga ayat tersebut
bermakna:
“Dia
(Allah) yang ketuhananNya terbentang di langit dan terbentang juga di bumi.”
Di sini
bisa saja kedua bentuk tersebut berbeda, antara lain, bahwa dilangit ketuhanan
Nya sangat jelas, tidak ada atau hamper tidak ada satu makhluk pun yang
membangkang, sedang ketuhanan Nya di bumi tidak sejelas itu, karena disini
sekian banyak makhluk yang membangkang, bahkan ada yang tidak mengakui
wujudNya. Lebih jauh kaidah umum itu menyatakan bahwa:
4)
Kalau Ma’rifah diulang Ma’rifah,
atau Nakirah disusul Ma’rifah, maka keduanya mengandung makna yang sama.”
Namun,
sekali lagi ini tidak selalu demikian perhatikanlah firman Allah:
هل
جزاء الإحسان إلا الإحسن
“
bukankah balasan kebajikan itu tidak lain kecuali kebajikan pula?” (QS. Ar Rahman
[55]: 60
Di
sini kata al Ihsan (الإحسان) terulang dua kali, keduanya dalam bentuk ma’rifah. Tetapi kata
al Ihsan yang pertanma ihsan duniawi, sedang yang kedua yang merupakan
balasanya adalah kenikmatan ukhrawi. Tentu yang duniawi berbeda dengan yang
ukhrawi. Namun demikian, sebagai patokan umum kaidah itu dapat digunakan.
1.
QS. Al Insyirah : 5-6
¨bÎ*sù yìtB Îô£ãèø9$# #·ô£ç ÇÎÈ ¨bÎ) yìtB Îô£ãèø9$# #Zô£ç ÇÏÈ
5.
Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, 6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan.
Agaknya Allah swt dalam ayat 5 dan 6 ini
bermaksud menjelaskan salah satu sunnah Nya yang bersifat umum dan konsisten
yaitu: “setiap kesulitan pasti disertai kemudahan selama yang bersangkutan
bertekad untuk menanggulanginya”. Ini dibuktikan Nya anttara lain dengan contoh
konkret pada Nabi Muhammad saw. Dan apabila krisis atau kesulitan telah
mencapai puncaknya maka pasti ia akan sirna dan disusul dengan kemudahan.”
Para
ahli hokum Islam setelah memperhatikan sekian banyak ayat al Qur’an dan hadist,
memberikan kesimpulan dalam bentuk kaidah yang berbunyi (المشقة
تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ ) kesulitan mendatang kan kemudahan, demikian
juga kaidah (إٍذَا ضَاقَ الشيىئُ
إٍتَّسع ) apabila sesuatu telah menyempit, maka ia
menjadi luas.
Pada
ayat 5 kata ( العُسْر) berbentuk difinit (memakai alif dan lam) demikian pula kata
tersebut pada ayat 6. Ini bearti kesulitan yang dimaksud pada ayat 5 sama
halanya dengan kesulitan yang disebutkan pada ayat 6, berbeda dengan kata يُسْرَا (kemudahan).
Kata tersebut tidak dalam bentuk difinit, sehingga kemudahan yang disebut pada
ayat 5 berbeda dengan kemudahan yang disebut pad ayat 6, hal ini menjadikan kedua
ayat tersebut mengandung makna “Setiap satu kesulitan akan sisusul/ dibarengi
dengan dua kemudahan.
2.
QS. Al Zumar: 2-3
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& øs9Î) |=»tFÅ6ø9$# Èd,ysø9$$Î/ Ïç7ôã$$sù ©!$# $TÁÎ=øèC çm©9 úïÏe$!$# ÇËÈ wr& ¬! ß`Ïe$!$# ßÈÏ9$sø:$# 4 úïÏ%©!$#ur (#räsªB$# ÆÏB ÿ¾ÏmÏRrß uä!$uÏ9÷rr& $tB öNèdßç6÷ètR wÎ) !$tRqç/Ìhs)ãÏ9 n<Î) «!$# #s"ø9ã ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts óOßgoY÷t/ Îû $tB öNèd ÏmÏù cqàÿÎ=tGøs 3 ¨bÎ) ©!$# w Ïôgt ô`tB uqèd Ò>É»x. Ö$¤ÿ2 ÇÌÈ
2. Sesunguhnya kami menurunkan kepadamu Kitab
(Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya.
3. Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama
yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain
Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya
Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih
padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan
sangat ingkar.
Kata
الدين
pada ayat kedua sama dengan الدين pada ayat selanjutnya. Ibn ‘Asyur memahami kata ad din dalam
arti ibadah, karena hubungan manusia
dengan Allah tercermin dalam ibadahnya dan dalam sebuah hadist dinyatakan
bahwa: “ad Din al mu’amalah /agama adalah hubungan timbale balik yang harmonis.
Menurut Thabathaba’i kata ad din dapat juga dipahami dalam arti “tata cara yang
ditempuh manusia dalam kehidupan bermasyarakat” dan yang maksud dengan perintah
beribadah adalah cerminan ketundukan kepada Allah dalam segala aspek kehidupan
dengan mengikuti apa yang disyari’atkan Nya.
Pengulangan
kata yang sama dalam suatu rangkaian kaliamat yang keduanya dalam bentuk ma’rifat,
maka itu –secara umum- mengandung makna bahwa yang kedua sama dengan yang
pertama. Jika kita melihat kembali ke kaidah tafsir ini, bearti kata ad din
pada ayat 2 dan ayat 3 bermakna sama.
3.
QS. Al An’am : 37
(#qä9$s%ur wöqs9 tAÌhçR Ïmøn=tã ×pt#uä `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4 ö@è% cÎ) ©!$# îÏ$s% #n?tã br& tAÍit\ã Zpt#uä £`Å3»s9ur öNèdusYò2r& w tbqßJn=ôèt ÇÌÐÈ
37. Dan
mereka (orang-orang musyrik Mekah) berkata: "Mengapa tidak diturunkan
kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah:
"Sesungguhnya Allah Kuasa menurunkan suatu mukjizat, tetapi kebanyakan
mereka tidak mengetahui."
Pada
ayat ini kata ءَايَةٌ
sama
dengan ءَايَةً. Kembali ke kaidah
“Pengulangan
kata yang sama dalam suatu rangkaian kaliamat yang keduanya dalam bentuk
ma’rifat, maka itu –secara umum- mengandung makna bahwa yang kedua sama dengan
yang pertama, sedang pengulangan Nakirah menunjukkan bahwa yang pertama
bukan yang kedua.”
Ini
bearti bahwa makna mukjizat yang ditanyakan oleh orang Musyrik Mekkah berbeda
dengan makna mukjizat setelahnya. Mereka berkata “Mengapa tidak diturunkan
kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari Tuhannya?” padahal sesunguhnya
mukjizat itu telah ada. Ini menunjukkan
bahwa mereka tidak mengakui al Qur’an sebagai mukjizat, bahkan tidak mengakui
alam raya dengan segala keajaibannya adalah ayat ayat yang terhampar. Tampaknya
karena itu pula yat ini ditutup dengan firman Nya. : kebanyakan mereka tidak
mengetahui .
C.
Kesimpulan
Dalam
konteks ma’rifah dan nakirah para pakar mengemukakan rumusan
kaidah yang dapat diterapkan pada umumnya ayat ayat al Qur’an, yaitu:
1.
Pengulangan kata yang sama dalam
suatu rangkaian kaliamat yang keduanya dalam bentuk ma’rifat, maka itu –secara
umum- mengandung makna bahwa yang kedua sama dengan yang pertama, sedang
pengulangan Nakirah menunjukkan bahwa yang pertama bukan yang kedua.”
2.
Sedang bila yang pertama Nakirah dan
yang kedua Ma’rifah, maka yang kedua sama dengan yang pertama”.
3.
Bila sebaliknya, yang pertama
Ma’rifah dan yang kedua Nakirah, maka ini diperlukan pengamatan indicator untuk
merumuskan maknanya. Karena terkadang sangat berbeda maknanya”.
4.
Kalau Ma’rifah diulang Ma’rifah,
atau Nakirah disusul Ma’rifah, maka keduanya mengandung makna yang sama.”
Daftar Pustaka
M. Quraish
Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang, Lantera hati, 2013
Mana’ Khalil Al
Qattan, Studi Ilmu Ilmu Al Qur’an, Jakarta, Pustaka Litera AntarNusa,
2007, cet ke- 11
M. Quraisy
Shihab, Tafsir al Mishbah, Tangerang, Lentera Hati, jilid 15 2002
M. Quraisy
Shihab, Tafsir al Mishbah, Tangerang, Lentera Hati, jilid 12, 2002
M. Quraisy
Shihab, Tafsir al Mishbah, Tangerang, Lentera Hati, jilid 4, 2002
M. Quraisy Shihab, Tafsir al Mishbah, Jakarta, Lentera
Hati, jilid 12, hal 183
M. Quraisy Shihab, Tafsir al Mishbah, Tangerang, Lentera
Hati, jilid 4, hal 81, 2002