Selasa, 31 Maret 2015

Pengulangan Isim Ma'rifah dan Isim Nakirah dalam al Qur'an


Pengulangan Isim Ma’rifah Dan Isim Nakirah
Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Qawaid Tafsir
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Rohimin. M. Ag



DisusunOleh:
Intan Melati Utami : NIM. 212 342 9520



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAKWAH
PRODI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR
2013-2014
A.     Pendahuluan
Kalam menurut makna etimologi nya adaalah pembicaraan atau ucapan. Tetapi makna terminology nya dapat berbeda beda sesuai tinjauan aneka disiplin ilmu. Al Qur’an al Karim adalah Kalam Allah. Hakikat kalam Allah tidak kita ketahui karena kalam Nya adalah sifat zat Nya yang mustahil dijangkau oleh makhluk, termasuk manusia. Namun demikian, dalam konteks penafsiran al Qur’an kita dapat menjangkau sekelumit dari kalam Nya, karena yang Mahakuasa itu menyampaikan kalam Nya kepada kita dengan menggunakan bahasa manusia yang dalam hal ini adalah bahasa arab.
Allah berfirman:
$¯RÎ) çm»oYù=yèy_ $ºRºuäöè% $|Î/ttã öNà6¯=yè©9 šcqè=É)÷ès? ÇÌÈ
3.  Sesungguhnya kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). (QS. Az Zukhruf :43)
Ini bearti bahwa kalam Allah itu menggunakan bahsa yang dikenal dan digunakan oleh masyarakat pada masa turunnya. Ini bearti juga bahwa kita memiliki potensi untuk memahami  Kalam Allah yang berbahasa arab itu dengan perangkat yang digunakan oleh Bahasa Arab.
Pakar pakar dalam bidang tatab Bahasa Arab menyatakan bahwa:
                                                                           الكلام هو اللفظ المركب المفيد
Kalam adalah lafazh lafazh yang tersusun dan mimiliki makna.
Ketersusunannya ditandai oleh minimal dua kata itu memiliki makna tertentu. Mereka juga menegaskan bahwa ada tiga unsure dari apa yang disebut kalam atau pembicaraan, yaitu: 1) Isim (إسم /  noun), 2) Fi’il (فعل / Verb), 3) Huruf (حرف ).


B.     Pembahasan
Kita akan membahas sedikit mengenai salah satu unsure diatas. Yakni, Isim (إسم) / kata benda. Isim adalah kata yang memiliki makna tanpa berkaitan dengan masa. Bahasan para pakar menyangkut Isim beraneka ragam.  Salah satu bahasan mereka mengenainai sifat nya.
Sifatnya, yakni Ma’rifah (معرفة) / definite atau Nakirah (نكرة) / indefinite. Ma’rifah adalah nama yang menunjuk kepada sesuatu yang telah diketahui/tertentu, seperti kata Muhammad (محمد) at-Tilmidz (التلميذ) / Murid itu, sedang Nakirah adalah lawannya, seperti kata Tha’ir (طائر) / burung, Tilmidz (تلميذ) tanpa alif dan lam/ murid.
Satu nama dinilai berbentuk ma’rifah apabila ia merupakan salah satu dari hal hal berikut:[1]
1)      Dhama’ir ( الضمائر) /Noun/pengganti nama, sepeerti Huwa (هو( /Dia (Maskulin) atau Hiya (هي) /Dia (feminine).
2)      Alam (علم) / tanda, yakni kata yang telah dikenal luas bagi sesuatu, seperti nama kota yang terkenal, Jakarta, Mekkah.
3)      Ism al Isyarah (الإشارة إسم) yakni lafazh yang mengandung makna isyarat, seperti Hadza (هذا) / ini, atau Dzalika (ذالك) / itu.
4)      Isim Maushul (الموصول إسم) seperti al Ladzina (الذين) atau al ladzi (الذي)
5)      Al Muhalla bi’al (المحلى بأل) yakni yang awal lafazh nya dimulai dengan al (ال ), seperti kata ar Rajul (الرجل)
6)      Al Mudhaf ila Ma’rifah(إلى المعرفة  المضاف ) yakni kata yang disandarkan kepada sesuatu yang bersifat ma’rifat, seperti(  موسىكتاب ) / kitab  ya Nabi Musa.
7)      Yang disertai dengan kata yang mengandung makna panggilan, seperti ya( يا) dan sebagainya.
Dalam konteks ma’rifah dan nakirah para pakar mengemukakan rumusan kaidah yang dapat diterapkan pada umumnya ayat ayat al Qur’an, yaitu:
1)      Pengulangan kata yang sama dalam suatu rangkaian kaliamat yang keduanya dalam bentuk ma’rifat, maka itu –secara umum- mengandung makna bahwa yang kedua sama dengan yang pertama, sedang pengulangan Nakirah menunjukkan bahwa yang pertama bukan yang kedua.”
Salah satu contoh nya adalah firman Nya dalam QS. Asy Syarh [94]: 5-6
فإن مع العسر يسرا , إن مع العسر يسرا
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”
Ayat diatas menggunakan bentuk Ma’rifat/definite untuk kata al ‘Usr (العسر) /kesulitan, sedang kata Yusr (يسر) berbentuk Nakirah / indefinite. Ini bearti kesulitan yang disebut pada ayat 6 sama dengan kesulitan yang disebut pada ayat 5, sedang kemudahan yang disebut pada ayat 6 berbeda dengan kemudahan yang disebut pada ayat 5, sehingga ini bearti bahwa bahwa setiap ada satu kesulitan, maka di celahnya/bersamanya ada dua kemudahan.
2)      Sedang bila yang pertama Nakirah dan yang kedua Ma’rifah, maka yang kedua sama dengan yang pertama”.
Seperti firman Allah:
كما أرسلنا إلى فرعون رسولا . فعصى فرعون الرسول
“…..sebagaimana Kami mengutus kepada Firaun rasul, lalu Firaun mendurhakai rasul (itu)” (QS. Al Muzzammil [73] :15-16
3)      Bila sebaliknya, yang pertama Ma’rifah dan yang kedua Nakirah, maka ini diperlukan pengamatan indicator untuk merumuskan maknanya. Karena terkadang sangat berbeda maknanya”.
Seperti kata sya’ah yang terulang dalam firman Nya:
و يوم تقوم الساعة يقسم المجرمون ما لبثوا غير ساعة
“Pada hari datangnya as Sa’ah (kiamat) para pendurhaka bersumpah: Mereka tidak tinggal di dunia kecuali sesaat (waktu yang singkat)” (QS. Ar Rum [30]: 55
Memang, kaidah ini tidak selalu demikian, namun paling tidak ia dapat menjadi patokan pemahaman. Sekali lagi, kaidah ini tidak berlaku umum, tetapi kebanyakan demikian itu halnya. Salah satu bukti bahwa kaidah di atas tidak selalu demikian adalah firman Allah dalam QS. Az Zukhruf [43]: 84
وهوالذي فى السماء إله و فى الأرض إله و هو الحكيم العليم
Pada ayat diatas kata Ilah (إله) berulang dua kali, sekali dalam kaitan nya dengan as sama’ (السماء) / langit dan dikali kedua dalam kaitannya dengan al ardh (الأرض) / bumi. Jika kaidah diatas diterapkan, maka itu dapat bearti bahwa Tuhan yang di langit berbثda dengan Tuhan yang ada di bumi.
Karena itu, salah satu jalan keluar yang diberikan oleh pakar adalah memahami kata Ilah (إله) dalam arti “ketuhanan” bukan “Tuhan” sehingga ayat tersebut bermakna:
“Dia (Allah) yang ketuhananNya terbentang di langit dan terbentang juga di bumi.”
Di sini bisa saja kedua bentuk tersebut berbeda, antara lain, bahwa dilangit ketuhanan Nya sangat jelas, tidak ada atau hamper tidak ada satu makhluk pun yang membangkang, sedang ketuhanan Nya di bumi tidak sejelas itu, karena disini sekian banyak makhluk yang membangkang, bahkan ada yang tidak mengakui wujudNya. Lebih jauh kaidah umum itu menyatakan bahwa:
4)      Kalau Ma’rifah diulang Ma’rifah, atau Nakirah disusul Ma’rifah, maka keduanya mengandung makna yang sama.”
Namun, sekali lagi ini tidak selalu demikian perhatikanlah firman Allah:
هل جزاء الإحسان إلا الإحسن                   
“ bukankah balasan kebajikan itu tidak lain kecuali kebajikan pula?” (QS. Ar Rahman [55]: 60
Di sini kata al Ihsan (الإحسان) terulang dua kali, keduanya dalam bentuk ma’rifah. Tetapi kata al Ihsan yang pertanma ihsan duniawi, sedang yang kedua yang merupakan balasanya adalah kenikmatan ukhrawi. Tentu yang duniawi berbeda dengan yang ukhrawi. Namun demikian, sebagai patokan umum kaidah itu dapat digunakan.
1.       QS. Al Insyirah : 5-6
¨bÎ*sù yìtB ÎŽô£ãèø9$# #·Žô£ç ÇÎÈ ¨bÎ) yìtB ÎŽô£ãèø9$# #ZŽô£ç ÇÏÈ
5.  Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, 6.  Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Agaknya Allah swt dalam ayat 5 dan 6 ini bermaksud menjelaskan salah satu sunnah Nya yang bersifat umum dan konsisten yaitu: “setiap kesulitan pasti disertai kemudahan selama yang bersangkutan bertekad untuk menanggulanginya”. Ini dibuktikan Nya anttara lain dengan contoh konkret pada Nabi Muhammad saw. Dan apabila krisis atau kesulitan telah mencapai puncaknya maka pasti ia akan sirna dan disusul dengan kemudahan.”
Para ahli hokum Islam setelah memperhatikan sekian banyak ayat al Qur’an dan hadist, memberikan kesimpulan dalam bentuk kaidah yang berbunyi (المشقة تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ ) kesulitan mendatang kan kemudahan, demikian juga kaidah (إٍذَا ضَاقَ الشيىئُ إٍتَّسع )  apabila sesuatu telah menyempit, maka ia menjadi luas.[2]
Pada ayat 5 kata ( العُسْر) berbentuk difinit (memakai alif dan lam) demikian pula kata tersebut pada ayat 6. Ini bearti kesulitan yang dimaksud pada ayat 5 sama halanya dengan kesulitan yang disebutkan pada ayat 6, berbeda dengan kata  يُسْرَا (kemudahan). Kata tersebut tidak dalam bentuk difinit, sehingga kemudahan yang disebut pada ayat 5 berbeda dengan kemudahan yang disebut pad ayat 6, hal ini menjadikan kedua ayat tersebut mengandung makna “Setiap satu kesulitan akan sisusul/ dibarengi dengan dua kemudahan.[3]
2.       QS. Al Zumar: 2-3
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& šøs9Î) |=»tFÅ6ø9$# Èd,ysø9$$Î/ Ïç7ôã$$sù ©!$# $TÁÎ=øƒèC çm©9 šúïÏe$!$# ÇËÈ Ÿwr& ¬! ß`ƒÏe$!$# ßÈÏ9$sƒø:$# 4 šúïÏ%©!$#ur (#räsƒªB$# ÆÏB ÿ¾ÏmÏRrߊ uä!$uŠÏ9÷rr& $tB öNèdßç6÷ètR žwÎ) !$tRqç/Ìhs)ãÏ9 n<Î) «!$# #s"ø9ã ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts óOßgoY÷t/ Îû $tB öNèd ÏmÏù šcqàÿÎ=tGøƒs 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïôgtƒ ô`tB uqèd Ò>É»x. Ö$¤ÿŸ2 ÇÌÈ
2.  Sesunguhnya kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.
3.  Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
Kata الدين pada ayat kedua sama dengan الدين pada ayat selanjutnya. Ibn ‘Asyur memahami kata ad din dalam arti ibadah,  karena hubungan manusia dengan Allah tercermin dalam ibadahnya dan dalam sebuah hadist dinyatakan bahwa: “ad Din al mu’amalah /agama adalah hubungan timbale balik yang harmonis. Menurut Thabathaba’i kata ad din dapat juga dipahami dalam arti “tata cara yang ditempuh manusia dalam kehidupan bermasyarakat” dan yang maksud dengan perintah beribadah adalah cerminan ketundukan kepada Allah dalam segala aspek kehidupan dengan mengikuti apa yang disyari’atkan Nya. [4]
Pengulangan kata yang sama dalam suatu rangkaian kaliamat yang keduanya dalam bentuk ma’rifat, maka itu –secara umum- mengandung makna bahwa yang kedua sama dengan yang pertama. Jika kita melihat kembali ke kaidah tafsir ini, bearti kata ad din pada ayat 2 dan ayat 3 bermakna sama.
3.       QS. Al An’am : 37
(#qä9$s%ur Ÿwöqs9 tAÌhçR Ïmøn=tã ×ptƒ#uä `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4 ö@è% žcÎ) ©!$# îÏŠ$s% #n?tã br& tAÍit\ムZptƒ#uä £`Å3»s9ur öNèduŽsYò2r& Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÐÈ
37.  Dan mereka (orang-orang musyrik Mekah) berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya Allah Kuasa menurunkan suatu mukjizat, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui."
Pada ayat ini kata ءَايَةٌ sama dengan ءَايَةً. Kembali ke kaidahPengulangan kata yang sama dalam suatu rangkaian kaliamat yang keduanya dalam bentuk ma’rifat, maka itu –secara umum- mengandung makna bahwa yang kedua sama dengan yang pertama, sedang pengulangan Nakirah menunjukkan bahwa yang pertama bukan yang kedua.”
Ini bearti bahwa makna mukjizat yang ditanyakan oleh orang Musyrik Mekkah berbeda dengan makna mukjizat setelahnya. Mereka berkata “Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu mukjizat dari Tuhannya?” padahal sesunguhnya mukjizat itu telah ada.  Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui al Qur’an sebagai mukjizat, bahkan tidak mengakui alam raya dengan segala keajaibannya adalah ayat ayat yang terhampar. Tampaknya karena itu pula yat ini ditutup dengan firman Nya. : kebanyakan mereka tidak mengetahui .[5]






C.     Kesimpulan
Dalam konteks ma’rifah dan nakirah para pakar mengemukakan rumusan kaidah yang dapat diterapkan pada umumnya ayat ayat al Qur’an, yaitu:
1.       Pengulangan kata yang sama dalam suatu rangkaian kaliamat yang keduanya dalam bentuk ma’rifat, maka itu –secara umum- mengandung makna bahwa yang kedua sama dengan yang pertama, sedang pengulangan Nakirah menunjukkan bahwa yang pertama bukan yang kedua.”
2.       Sedang bila yang pertama Nakirah dan yang kedua Ma’rifah, maka yang kedua sama dengan yang pertama”.
3.       Bila sebaliknya, yang pertama Ma’rifah dan yang kedua Nakirah, maka ini diperlukan pengamatan indicator untuk merumuskan maknanya. Karena terkadang sangat berbeda maknanya”.
4.       Kalau Ma’rifah diulang Ma’rifah, atau Nakirah disusul Ma’rifah, maka keduanya mengandung makna yang sama.”












Daftar Pustaka
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang, Lantera hati, 2013
Mana’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu Ilmu Al Qur’an, Jakarta, Pustaka Litera AntarNusa, 2007, cet ke- 11
M. Quraisy Shihab, Tafsir al Mishbah, Tangerang, Lentera Hati, jilid 15 2002
M. Quraisy Shihab, Tafsir al Mishbah, Tangerang, Lentera Hati, jilid 12, 2002
M. Quraisy Shihab, Tafsir al Mishbah, Tangerang, Lentera Hati, jilid 4, 2002


[1] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Tangerang, Lantera Hati, 2013, hal 48
[2] M. Quraisy Shihab, Tafsir al Mishbah, Jakarta, Lentera Hati, 2002, hal 362
[3] Ibid, hal 363
[4] M. Quraisy Shihab, Tafsir al Mishbah, Jakarta, Lentera Hati, jilid 12, hal 183
[5] M. Quraisy Shihab, Tafsir al Mishbah, Tangerang, Lentera Hati, jilid 4, hal 81, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar