MAKALAH
CARA PENERIMAAN DAN PERIWAYATAN
HADIST
DISUSUN OLEH:
INTAN MELATI UTAMI
MELY DIANA
DOSEN PEMBIMBING:
MARYAM, M. Hum

JURUSAN USHULUDDIN
PRODI TAFSIR HADIST
IAIN BENGKULU
2013
PENERIMAAN DAN
PERIWAYATAN HADIST
Pendahuluan
Hadist merupakan sumber ajaran
umat islam ke dua setelah Al Qur’an, yang berasal dari Rasulullah disampaikan
kepada para sahabat beliau sehingga kita dapat mempelajari nya hingga saat ini,
dan sudah barang tentu para ulama berhati hati dan mengkaji asal usul hadis dan
metode metode yang di pakai para sahabat, ulama ulama dalam penyampaian,
peneriamaan dan periwayatan hadis.
Maka, umat muslim diwajibkan
untuk dapat membedakan berbagaimacam hadis agar tidak terjebak dalam hadist
hadist palsu, yang tidak diakui kebenaran nya.
Dalam makalah ini, kami
memaparkan beberapa hal mengenai cara penyampaian hadist, syarat periwayatan
hadis dan yang berkenaan dengan hal itu, arahan dan bimbingan dosen pembimbing
sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah berikut nya.
PEMBAHASAN
- Pengertian Penerimaan dan Periwayatan Hadits
Para ulama ahli hadis
mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari seseorang
guru dengan menggunakan beberapa metode peneriamaan hadist” dengan istilah al
tahammul. Sedang “menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain”
mereka istilaahkan dengan al ada’[1]
- Peristiwa Penyampaian Hadist
Sebaimana yang telah kita
ketahui, bahwa hadist Rasul, ada yang berbentuk sabda, perbuatan, hal ihwal dan
taqrir, dan hadist hadist beliau disampaikan dalam beragam peristiwa
diantaranya:[2]
1.
Pada majlis majlis Rasulullah
Rasulullah secara khusus dan
teratur mengadakan majlis majlis yang berhubungan dengan kegiatan pengajaran
islam. Dan bukun hanya terkhusus untuk kaum pria saja tetapi ada juga untuk
kaum wanita.
Pada majlis inilah para saabat
menerima hadist yang disampaikan Rasulullah, kemudian setelah pengajian para
sahabat kembali mengulang atau menghapal nya kembali.
Anas bin malik mengatakan: kami
berada disis Rasulullah kami mendengengarkan hadist dari beliau, apabila telah
selesai, maka kami mempelajariny kembali dan menghapal nya”.
2.
Pada peristiwa yang rasulullah mengalaminya
kemudian beliau menerangkan hukum nya.
Adakalanya Rasulullah menyaksikan
suatu peristiawa kemudian beliau menjelaskan hal hal yang berhubungan dengan
peristiwa itu. Abu hurairah meriwayatkan, bahwa suatu ketika Rasulullah lewat
dimuka seorang saudagar bahan makanan. Rasullah bertanya bagaimana barang itu
dijual, kemudian penjual itu menjelaskan nya. Rasulullah lalu menyuruh penjual
untuk memasukkan tangan nya, maka penjual pun memasukkan nya sehinngah tampak
bahwa bagian bawah barang itu dicampur air. Menyaksikan hal demikian Rasulullah
bersabda:
ليس
منا من غش
“bukan lah dari
golongan kami, siapa yang menipu” (H.R Ahmad)
3.
Pada peristiwa yang dialami oleh kaum muslimin
kemudian meraka menanyakan hukum nya kepada Rasulullah.
Adakalanya para sahabat mengalami
suatu peristiwa yang berhubungan dengan dirinya, dan adakala berhubungan dengan
orang lain. Dan untuk menenangkan bathin nya, maka mereka menanyakan hal yang
mereka alami kepada Rasulullah. Sehingga beliau mengeluarkan atau memberikan
fatwa mengenai hukum nya.
4.
Pada peristiwa yang dialami langsung oleh para
sahabat terhadap apa yang terjadi atau dilakukan Rasulullah.
Banyak sekali yang menyangkut hal
ini. Karena rasulullah dan para sahabat hidup dalam kebersamaan di keseharian
mereka. Umpanya yang berhubungan dengan ibadah puasa, sholat, sedekah, haji dan
lain sebagai nya.
- Cara Sahabat Menerima Dan Menyampaikan Hadist
Jumlah sahabat rasulullah begitu
banyak, sehingga sangat memungkinkan bagi beliau untuk mentrasfer ilmu kepada
mereka, tetapi karena keanekaragaman kesibukan maka cara mereka menerima
hadistpun tidak sama.[3]
Cara cara sahabat dalam menerima hadist diantara nya:
a)
Secara langsung dari Nabi
Maksud nya ialah mereka secara
langsung mendengar, melihat, atau menyaksiakan tentang apa yang dilakukan,
disabdakan, atau berhubungan dengan Rasulullah. Hal demikian di alami sahabat
saat di pengajian Rasul atau dengan mengajukan pertanyaan kepada Rasul
b)
Secara tidak langsung dari nabi.
Maksudnya ialah mereka secara
tidak langsung melihat, mendengar, atau menaksikan tentang apa yang dilakukan,
disabdakan, atau yang berhubungan dengan Rasul.
Para sahabat yang
mengalami hal seperti ini karena:
1)
Dalam keadaan sibuk untuk mengurus keperluan
hidup nya atau kesibukan lain nya. mereka terkadang tidak sempat ikut. Tetapi
walaupun mereka tidak ikut, mereka dapat mengetahui hadist secara tidak
langsung, dengan bertanya kepada sahabat yang hadir.
2)
Tempat tinggal yang berjauhan dengan tempat
tinggal nabi. Sudah pasti tidak semua sahabat rumah nya berdekatan dengan nabi.
Dan jauh nya tempat tidak menjadi penghalang untunk mereka mempelajari sunnah
nabi
3)
Merasa malu untuk bertanya langsung kepada nabi,
karena masalah yang ditanyakan kepada nabi menyangkut masalah yang sangat
pribadi.Sahabat yang memiliki masalah demikian biasa nya minta tolong kepada sahabat
lain nya untuk menanyakan mashalah nya kepada nabi.Jadi orang yang tidak
bertanya itu, menerima jawaban dari nabi berupa hadist, secara tidak langsung.
4)
Nabi sendiri sengaja minta tolong kepada sahabat
( biasa nya kepada istri beliau sendiri) untuk mengemukakan masah masalah
khusus. Misal nya yang berhubungn dengan soal kewanitaan. Dengan demikian
peneriamaan hadist seperti itu diterima para sahabat secara tidak langsung.
Adapun tentang penyampaian hadis oleh para sahabat,
dilakukan dengan dua cara:
1)
Secara lafdziyah
Yakni, menurut lafazd yang mereka terima dari Nabi. Para
sahabat yang dapat melaksanakan dengan cara ini karena selain mereka mempunyai
ingatan yang kuat, mereka selalu mengulangi hapalan nya dengan ketelitian.
Periwayatan hadist dengan cara ini hanya untuk hadis qouliyah saja, sedang
hadis fi’liyah dan taqririyah tidak dapat disampaikan secara lafdziyah
2)
Secara maknawy
Hadis yang disampaikan sahabat dengan makna nya saja, tidak
menurut lafadz yang disampaikan Nabi.
Jadi, bahasa dan lafadz disususn oleh sahabat, sedang isi nya berasal
dari Nabi.
Menurut Prof. Dr. T.M Hasbi ash shiddieqy,[4] bahwa
yang penting dari hadist ialah isi nya, sedang lafazd dan bahasa nya boleh
disususn dengan makna lain. Asal isi nya tidak berbeda.
- Penerimaan Hadist Oleh Anak anak Orang kafir Dan Orang fasik[5]
Jumhur ulama ahli hadist berpendpat,
bahwa penerimaan periwayatan suatu hadist oleh anak yang belum sampai umur (
belum mukallaf) dianggap sah apabila periwayatan hadist tersebut disampaikan
kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan kepada keadaan
para sahabat tabi’in dan ahli ilmu setelah nya yang menerima periwayatan hadist
seperti hasan, Abdullah bin zubair, ibnu abbas, nu’man binbasyir, dan lain nya
tanpa mempersalahkan mereka baligh atau belum. Namun mereka berbeda pendapat
mengenai batas minimal usia bertahammul, sebab masa ini tidak terlepas dari
ketamyizan anak tersebut.
Al Qadhi ‘iyad menetapkan, bahwa
batas minimal usia anak kemudian disampaikannya setelah memeluk islam, maka
sudah barang tentu dianggap sah penerimaan hadist oleh orang fasik yang
diriwayatkan nya setelah ia bertobat.
- Cara Penerimaan Hadist
Para ulama hadist menggolongkan
metode menerima periwatan suatu hadist menjadi delapan macam:[6]
- Sama’ min lafdzi Syaikh
Yakni suatu cara penerimaan
hadist dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan guru nya dengan cara
didektekan baik dari hapalan nya maupun dari tulisn nya. sehingga yang
menghadiri nya mendengar apa yang disampaikan nya tersebut. Menurut jumhur ahli
hadist bahwa cara ini adalah cara yang paling tinggi tingkatan nya. sebagian
dari mereka ada yang mengatakan bahwa as sima’ yang dibarengi dengan al kitabah
mempunyai nilai lebih tinggi dan lebih kuat. Karena terjamin kebenaran nya dan
terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara lain nya. disamping itu, para
sahabat juga menerima hadist Nabi dengan cara seperti ini.
Termasuk dalam kategori sama’
juga, seseorang yang mendengarkan hadist dari syeikh dari balik sattar (semacam
kain pembatas). Jumhur ulama membolehkan nya karna para sahabat juga pernah
melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadist Rasulullah melalui para istri
nya
Menurut Al Qadhi Iyad, yang
dikutip oleh Al Suyuthi, didalam cara ini para ulama tidak memperselisihkan
kebolehan para rawi dalam meriwayatkan nya menggunakan kata kata:
حدثنا (seseorang telah
menceritakan kepada kami)
أخبرنا (seseorang
telah mengabarkan kepada kami)
أنبأنا (seseorang telah memberitahukan kepada kami)
سمعت
فلانا
(saya telah mendengar dari seseorang)
قال لنا فلان (seseorang telah berkata kepada kami)
ذكر لنا فلان (seseorang telah menuturkan kepada
kami)
- Al Qira’ah ‘ala Al Syaikh (‘Aradh Al Qira’ah)
Yakni suatu cara seseorang membacakan hadist dihapan
guru nya, baik dia sendiri yang membacakan ataupun orang lain, sedang sang guru
mendengar atau menyimak nya baik sang guru hafal maupun tidak tetapi ia
memegang kitab nya atau mengetahui tulisannya atau ia tergolong tsiqqah.
Ajjaj Al khatib dengan mengutip pendapat imam Ahmad
mensyaratkan orang yang membaca itu mengetahui dan memahami apa yang dibaca.
Sementara syarat bagi syeikh menurut imam Haramain hendak nya yang ahli dan
teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh Qori’,
sehingga tahrif maupun tashif dapat terhindarkan. Jika tidak demikian maka
proses tahammul tidak sah.
Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap
sah. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai derajat al qira’ah. Diantara
mereka Abu Hanifa, Ibnu Juraih, Sufyan Al Tsauri menganggap bahwa al qira’a
lebih baik jika disbanding al sama’, sebab dalam qira’ah jika bacaan guru salah
murid tidak leluasa dalam menolak kesalahan. Tetapi dalam al qira’ah bila
bacaan murid salah guru segera membenarkan nya. imam Malik, Bukhari, sebagian
besar ulama Hijaz dan Kufah menganggap bahwa antara al qira’an dan al sama’
mempunyai derajat yang sama. Sementara Ibnu Al Shalah, Imam Nawawi memandang
bahwa al sama’ lebih tinggi derajata nya disbanding al qira’ah.
- Al Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya
untuk meriwayatkan hadist atau kitab
kepada seseorang atau orang orang tertentu. Sekalipun murid tidak membacakan
kepada guru nya atau tidak mendengar bacaan guru nya, seperti:
أجزت لك أن تروي عنى (saya
mengizinkan kepada mu untuk meriwayatkan dariku)
Para ulama
berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan
hadist. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadist dengan menggunakan
ijazah ini dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan bahkan ada sebagian ulama
yang menambahkan bahwa ijazah ini benar benar diingkari. Sedangkan ulama yang
memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendak nya sang guru benar
benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan
yang lain, sehingga seolah olah naskah tersebut adalah asli nya serta hendak
nya guru yang memberi ijazah itu benar benar ahli ilmu.
Al Qhadi ‘iyad membagi ijazah ini dalam enam macam
sedang ibnu Al sholah memambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam.
Tujuh macam ijazah tersebut adalah:
1) Seseorang guru mengijazahkan
kepada seseorang tertentu atau kepada beberapa orang tertentu sebuah kitab atau
beberapa kitabyang dia sebutkan kepada mereka. Al ijazah seperti ini
diperbolehkan menurut jumhur
2) Bentuk ijazah kepada orang
tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu, seperti “saya
ijazahkan kepada mu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan dariku”.
Cara seperti menurut jumhur ulama juga diperbolehkan.
3) Bentuk ijazah secara umum,
seperti ungkapan “saya ijazahkan kepada kaum muslimin atau kepada orang orang
yang ada (hadir)
4) Bentuk Al ijazah kepada
orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara
seperti ini dianggap fasid (rusak)
5) Bentuk ijazah kepada orang
yang tidak ada. Seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan.
Bentuk ijazah seperti ini tidak sah
6) Bentuk ijazah mengenai
sesuatu yang belum diperdengarkan atau dibacakan kepada penerima ijazah.
Seperti ungkapan “ saya ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku sesuatu
yang akan kuperdengarkan kepadamu” cara seperti ini dianggap batal.
7) Bentuk al ijazah al mujaz,
saya ijazahkan kepada mu ijazah ku” bentuk seperti ini diperbolehkan.
- Al Munawalah
Yakni seseorang guru memberikan hadist atau beberapa
hadist atau kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa
al munawalah ialah seseorang guru memberi kepada seseorang murid kitab asli
yang didengar dari guru nya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan. Sambil
berkata “inilah hadist hadist yang sudah saya dengar dari seseorang, maka Riwayatkanlah
hadist ini dariku dan saya ijazahkan kepada mu untuk diriwayatkan”.
Al munawalah mempunyai dua
bentuk:
1)
Al munawah dibarengi dengan ijazah. Misalnya
setelah sang guru menyerahkan kitab nya yang telah ia riwayatkan atau naskah
nya yang telah dicocokkan atau beberapa hadist yang telah ditulis, lalu ia katakan
kepada murid nya “ini riwayat saya, maka riwayatkanlah dariku”. Termasuk al almunawalah
dalam bentuk ini ialah sang murid membacakan naskah yang diperoleh dari guru
nya kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada murid nya untuk
diriwayatkan dari nya. cara ini menurut Al Qadhi ‘iyad termasuk periwayatan
yang dianggap sah oleh para ulama ahli hadist. Hadist hadist yang berdasar atas
munawalah bersama ijazah biasa nya menggunakan redaksi “seseorang telah
memberitahukan kepada ku/kami)
2)
Al munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah,
seperti perkataan guru kepada murid nya ”ini hadist saya” “inilah adalah hasil
pendengaran ku atau dari periwayatan ku” dan tidak mengatakan “riwayatkan lah
dariku atau saya ijazahkan kepada mu. Menurut kebanyakan ulama al munawalah
dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadist yang diriwayatkan berdasarkan
munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi “ seseorang
telah memberikan kepada ku/kami)
Lafadz lafadz yang digunakan untuk memberikan munawalah
berbareng dengan ijazah:
هذا
سماعى أو روايتى عن فلان فارويه
“Ini adalah hasil
pendengaran ku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah!”
Lafadz Munawalah yang tidak
dibarengi dengan ijazah:
هذا
سماعى أو من روايتى
“Ini
adalah hasil pendengaran ku atau berasal dari periwayatan ku”
Yang diucapkan bersama sama dengan memberikan naskah
atau salainan kepada murid nya.
Lafadz
yang digunakan oleh Rawy dalam meriwayatkan hadist atas dasar:
Munawalah bersama ijazah,
أنبأنى
, أنبانا (seseorang telah
memberitahukan kepada ku/kami)
Munawalah tidak bersama ijazah,
ناولنى,
ناولنا (seseorang telah memberikan
kepada ku/kami)
- Al Mukatabah
Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau
menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadist nya guna diberikan kepada
murid yang ada dihadapan nya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat
melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikan nya.
Al mukatabah ada dua macam:
1)
Al mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu
sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadist untuk diberikan kepada murid nya
disertai dengan kata kata “ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah”
atau “saya ijazahkan kepada mu untuk meriwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan
al mukatabah dalam bentuk ini sama halnya dengan al munawalah yang dibarengi dengan
ijazah, yakni dapat diterima.
Contoh:
أجزت
لك ما كتبته إليك, أجزت ما كتبت به إليك “ku izinkan apa apa yang telah aku tulis kepada mu”
2)
Al mukatabah yang tidak dibarengi dengan al
ijazah, yakni guru memberikan hadist untuk diberikan kepada muridnya dengan
tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan. Al mukatabah
dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama Syafi’iyah dan ulama usul
menganggap sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al Mawardi menganggap
tidak sah.
Contoh:
قال
حدثنا فلان “telah memberitakan
seseorang kepada ku”
- Al I’lam
Yakni pemberitahuan seseorang
kepada murid, bahwa kitab atau hadist yang diriwayatkannya dia terima dari
seseorang (guru), dengan tanpa memberi izin kepada muridnya untuk meriwayatkan
nya. sebagiab ulama ahli ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Al Shalah
menetapkan tidak sah meriwayatkan hadist dengan cara ini. Karena dimungkinkan
bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan
pendapat ulama ahli hadist, ahli fiqh dan ahli ushul memperbolehkannya.
Contoh: أعلمنى
فلان قال حدثنا “seseorang telah
memberitahukan kepada ku: “telah berkata kepada kami…”
- Al Wasiyah
Yakni seorang guru ketika akan meninggal atau berpergian
meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadist atau kitab nya,
setelah sang guru meninggal atau bepergian. Periwayatan hadist dengan cara ini
oleh jumhur dianggap lemah. Sementara ibnu sirin membolehkan mengamalkan hadist
yang diriwayatkan nya atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini tidak
boleh meriwayatkan hadist dari sipemberi wasiat dengan redaksi
حدثنى فلان بكذا (seseorang telah memberitahukan kepadaku
begini), karena si penerima wasiat tidak bertemu dengannya.
Tetapi
lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadist berdasarkan wasiat seperti:[7]
اوصى إلي فلان بكتاب قال فيه حدثنا
..... “seseorang telah berwasiat kepada
ku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu: “telah bercita kepada
mu……”
- Al Wijadah
Yakni, seseorang memperoleh hadist orang lain dengan
mempelajari kitab kitab hadist dan tidak melalui cara al sama’, al ijazah,
ataupun al munawalah. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara ini.
Kebanyakan ahli hadist dan ahli fiqh dari mazhab Malikiyah tidak memperbolehkan
periwayatan hadist dengan cara ini. Imam Syafi’I dan segolongan pengikut nya
memperbolehkan beramal dengan hadist yang periwayatan nya melalui cara ini.
Ibnu al Shalah menagtakan, bahwa sebagian ulama muhaqqiqin mewajibkan
mengamalkan nya bila diyakini kebenaran nya.
Lafadz
lafadz yang digunakan, ialah seperti:
قرأت بخط فلان (saya telah membaca khath seseorang)
- Periwayatan Hadist
Sebagaiman yang telah kita tulis diatas, bahwa al ada`
ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadist kepada orang lain. Oleh karenanya,
ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menuntut pertanggung
jawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidak nya suatu hadist juga sangat
tergantung pada nya. Mengingat hal hal seperti ini, jumhur ahli hadist, ahli
ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadist.
Yakni
sebagai berikut:
- Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadist, maka seorang
perawi harus muslim. Dan menurut ijma’, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya
perawinya seorang fasik saja, kita disuruh bertawakuf, apalagi perawi yang
kafir, kaitannya dengan masalh ini bias kita bandingkan dengan firman Allah:
يا
أيها الذين امنوا إن جاءكم فاسق بنيإ
فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين
Artinya:
Hai orang orang yang beriman, apabila dating kepadamu
orang orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan
sehingga kamu akan menyesal atas perbuatan mu itu. (Al Hujurat 49: 6)
- Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia
ketika ia meriwayatkan hadist, walau penerimanya sebelum baligh. Hal ini
didasarkan pada hadist Rasulullah:
رفع
القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق و عن
النائم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم
Artinya:
Hilang
kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan , yaitu, orang gila
sampai ia sembuh, orang yang tidur sampai bangun, dan anak anak sampai ia
mimpi. (H.R Abu Daud dan Nasi’)
- ‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang
melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai jiwa
tersebut, tetap taqwa menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan
kebenaran nya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan
menjauhkan diri dari hal hal mubah tetapi tergolong kurang baik dan selalu
menjaga kepribadiannya.
- Dhabit
Dhabit ialah:
تيقظ
الراوى حين تحمله و فهمه لما سمعه و حفظه لذالك من وقت التحمل إلى وقت الاداء
“teringat kembali perawi saat penerimaan dan
pemahaman suatu hadist yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga
menyampaikannya”
Cara mengetahui kedhabitan perawi dengan jalan I’tibar
terhadap berita berita nya dengan berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.
Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat syarat
yang sebagaimana disebutkan diatas, antara satu perawi dengan perawi lain harus
bersambung, hadist yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak
bertentangan dengan hadist hadist yang lebih kuat ayat ayat Al Qur’an
- Kesimpulan
Para ulama hadist menggolongkan
metode menerima periwatan suatu hadist menjadi delapan macam:
1)
Sama’ min lafdzi Syaikh
2)
Al Qira’ah ‘ala Al Syaikh (‘Aradh Al Qira’ah)
3)
Al Ijazah
4)
Al Munawalah
5)
Al Mukatabah
6)
Al I’lam
7)
Al Wasiyah
8)
Al Wijadah
jumhur
ahli hadist, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi
periwayatan hadist. Yakni:
1) Islam
2) Baligh
3) ‘adalah
4) Dhabit
DAFTAR PUSTAKA
Drs.
Munzier Suparta, ILMU HADIST, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003
Drs.
Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadis, Bandung, PT Al ma’arif, 1985, Cet
ke-IV
Prof.
Dr. T.M Hasbi ash shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Jakarta, Bulan
Bintang, 1974, Cet ke-IV
Drs.
M. Syuhudi Ismail, pengantar ilmu hadits, Bandung, Angkasa, 1994
[1]
Drs. Munzier Suparta, MA. Ilmu hadis, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003,
hal. 195
[2]
Drs. M. Syuhudi Ismail, pengantar ilmu hadis, Bandung, Angkasa, 1994, Hal. 83
[3]
Ibid. hal. 85
[4]
Ibid Hal. 85
[5]
Drs. Munzier Suparta, MA. Op. cit. hal. 195
[6]
Ibid. hal. 196
[7]
Drs. Fathur rahman, ikhtisar musthalahul hadis, Bandung, PT Al ma’arif, 1985
hal. 219
Al hamdulillah, makalah ini telah kami selsaikan dan kami publikasikan agar dapat membantu mereka yang mungkin berniat mempelajari nya. Hal yang mungkin kurang anda pahami dapat dicari dalam buku referensi yang kami cantumkan. terima kasih salam'alaikum warahmatullahi wabarakatuh