Senin, 13 Mei 2013

Tahammul wa adaaul hadis (cara penyampaian dan penerimaan hadis)


 
MAKALAH

CARA PENERIMAAN DAN PERIWAYATAN HADIST

DISUSUN OLEH:
INTAN MELATI UTAMI
MELY DIANA


DOSEN PEMBIMBING:
MARYAM, M. Hum
                                                                                     



JURUSAN USHULUDDIN
 PRODI TAFSIR HADIST
 IAIN BENGKULU
2013


PENERIMAAN DAN PERIWAYATAN HADIST

Pendahuluan

Hadist merupakan sumber ajaran umat islam ke dua setelah Al Qur’an, yang berasal dari Rasulullah disampaikan kepada para sahabat beliau sehingga kita dapat mempelajari nya hingga saat ini, dan sudah barang tentu para ulama berhati hati dan mengkaji asal usul hadis dan metode metode yang di pakai para sahabat, ulama ulama dalam penyampaian, peneriamaan dan periwayatan hadis.

Maka, umat muslim diwajibkan untuk dapat membedakan berbagaimacam hadis agar tidak terjebak dalam hadist hadist palsu, yang tidak diakui kebenaran nya.

Dalam makalah ini, kami memaparkan beberapa hal mengenai cara penyampaian hadist, syarat periwayatan hadis dan yang berkenaan dengan hal itu, arahan dan bimbingan dosen pembimbing sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah berikut nya.
























PEMBAHASAN

  1. Pengertian Penerimaan dan Periwayatan Hadits

Para ulama ahli hadis mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari seseorang guru dengan menggunakan beberapa metode peneriamaan hadist” dengan istilah al tahammul. Sedang “menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain” mereka istilaahkan dengan al ada’[1]

  1. Peristiwa Penyampaian Hadist

Sebaimana yang telah kita ketahui, bahwa hadist Rasul, ada yang berbentuk sabda, perbuatan, hal ihwal dan taqrir, dan hadist hadist beliau disampaikan dalam beragam peristiwa diantaranya:[2]

1.      Pada majlis majlis Rasulullah

Rasulullah secara khusus dan teratur mengadakan majlis majlis yang berhubungan dengan kegiatan pengajaran islam. Dan bukun hanya terkhusus untuk kaum pria saja tetapi ada juga untuk kaum wanita.

Pada majlis inilah para saabat menerima hadist yang disampaikan Rasulullah, kemudian setelah pengajian para sahabat kembali mengulang atau menghapal nya kembali.

Anas bin malik mengatakan: kami berada disis Rasulullah kami mendengengarkan hadist dari beliau, apabila telah selesai, maka kami mempelajariny kembali dan menghapal nya”.

2.      Pada peristiwa yang rasulullah mengalaminya kemudian beliau menerangkan hukum nya.

Adakalanya Rasulullah menyaksikan suatu peristiawa kemudian beliau menjelaskan hal hal yang berhubungan dengan peristiwa itu. Abu hurairah meriwayatkan, bahwa suatu ketika Rasulullah lewat dimuka seorang saudagar bahan makanan. Rasullah bertanya bagaimana barang itu dijual, kemudian penjual itu menjelaskan nya. Rasulullah lalu menyuruh penjual untuk memasukkan tangan nya, maka penjual pun memasukkan nya sehinngah tampak bahwa bagian bawah barang itu dicampur air. Menyaksikan hal demikian Rasulullah bersabda:
ليس منا من غش
“bukan lah dari golongan kami, siapa yang menipu” (H.R Ahmad)

3.      Pada peristiwa yang dialami oleh kaum muslimin kemudian meraka menanyakan hukum nya kepada Rasulullah.

Adakalanya para sahabat mengalami suatu peristiwa yang berhubungan dengan dirinya, dan adakala berhubungan dengan orang lain. Dan untuk menenangkan bathin nya, maka mereka menanyakan hal yang mereka alami kepada Rasulullah. Sehingga beliau mengeluarkan atau memberikan fatwa mengenai hukum nya.

4.      Pada peristiwa yang dialami langsung oleh para sahabat terhadap apa yang terjadi atau dilakukan Rasulullah.

Banyak sekali yang menyangkut hal ini. Karena rasulullah dan para sahabat hidup dalam kebersamaan di keseharian mereka. Umpanya yang berhubungan dengan ibadah puasa, sholat, sedekah, haji dan lain sebagai nya.

  1. Cara Sahabat Menerima Dan Menyampaikan Hadist

Jumlah sahabat rasulullah begitu banyak, sehingga sangat memungkinkan bagi beliau untuk mentrasfer ilmu kepada mereka, tetapi karena keanekaragaman kesibukan maka cara mereka menerima hadistpun tidak sama.[3]

Cara cara sahabat dalam menerima hadist diantara nya:

a)      Secara langsung dari Nabi

Maksud nya ialah mereka secara langsung mendengar, melihat, atau menyaksiakan tentang apa yang dilakukan, disabdakan, atau berhubungan dengan Rasulullah. Hal demikian di alami sahabat saat di pengajian Rasul atau dengan mengajukan pertanyaan kepada Rasul

b)      Secara tidak langsung dari nabi.

Maksudnya ialah mereka secara tidak langsung melihat, mendengar, atau menaksikan tentang apa yang dilakukan, disabdakan, atau yang berhubungan dengan Rasul.
 Para sahabat yang mengalami hal seperti ini karena:
1)      Dalam keadaan sibuk untuk mengurus keperluan hidup nya atau kesibukan lain nya. mereka terkadang tidak sempat ikut. Tetapi walaupun mereka tidak ikut, mereka dapat mengetahui hadist secara tidak langsung, dengan bertanya kepada sahabat yang hadir.
2)      Tempat tinggal yang berjauhan dengan tempat tinggal nabi. Sudah pasti tidak semua sahabat rumah nya berdekatan dengan nabi. Dan jauh nya tempat tidak menjadi penghalang untunk mereka mempelajari sunnah nabi
3)      Merasa malu untuk bertanya langsung kepada nabi, karena masalah yang ditanyakan kepada nabi menyangkut masalah yang sangat pribadi.Sahabat yang memiliki masalah demikian biasa nya minta tolong kepada sahabat lain nya untuk menanyakan mashalah nya kepada nabi.Jadi orang yang tidak bertanya itu, menerima jawaban dari nabi berupa hadist, secara tidak langsung.
4)      Nabi sendiri sengaja minta tolong kepada sahabat ( biasa nya kepada istri beliau sendiri) untuk mengemukakan masah masalah khusus. Misal nya yang berhubungn dengan soal kewanitaan. Dengan demikian peneriamaan hadist seperti itu diterima para sahabat secara tidak langsung.

Adapun tentang penyampaian hadis oleh para sahabat, dilakukan dengan dua cara:

1)      Secara lafdziyah

Yakni, menurut lafazd yang mereka terima dari Nabi. Para sahabat yang dapat melaksanakan dengan cara ini karena selain mereka mempunyai ingatan yang kuat, mereka selalu mengulangi hapalan nya dengan ketelitian. Periwayatan hadist dengan cara ini hanya untuk hadis qouliyah saja, sedang hadis fi’liyah dan taqririyah tidak dapat disampaikan secara lafdziyah

2)      Secara maknawy

Hadis yang disampaikan sahabat dengan makna nya saja, tidak menurut lafadz yang disampaikan Nabi.  Jadi, bahasa dan lafadz disususn oleh sahabat, sedang isi nya berasal dari Nabi.

Menurut Prof. Dr. T.M Hasbi ash shiddieqy,[4] bahwa yang penting dari hadist ialah isi nya, sedang lafazd dan bahasa nya boleh disususn dengan makna lain. Asal isi nya tidak berbeda.

  1. Penerimaan Hadist Oleh Anak anak Orang kafir Dan Orang fasik[5]

Jumhur ulama ahli hadist berpendpat, bahwa penerimaan periwayatan suatu hadist oleh anak yang belum sampai umur ( belum mukallaf) dianggap sah apabila periwayatan hadist tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan kepada keadaan para sahabat tabi’in dan ahli ilmu setelah nya yang menerima periwayatan hadist seperti hasan, Abdullah bin zubair, ibnu abbas, nu’man binbasyir, dan lain nya tanpa mempersalahkan mereka baligh atau belum. Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia bertahammul, sebab masa ini tidak terlepas dari ketamyizan anak tersebut.
Al Qadhi ‘iyad menetapkan, bahwa batas minimal usia anak kemudian disampaikannya setelah memeluk islam, maka sudah barang tentu dianggap sah penerimaan hadist oleh orang fasik yang diriwayatkan nya setelah ia bertobat.

  1. Cara Penerimaan Hadist

Para ulama hadist menggolongkan metode menerima periwatan suatu hadist menjadi delapan macam:[6]

  1. Sama’ min lafdzi Syaikh

Yakni suatu cara penerimaan hadist dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan guru nya dengan cara didektekan baik dari hapalan nya maupun dari tulisn nya. sehingga yang menghadiri nya mendengar apa yang disampaikan nya tersebut. Menurut jumhur ahli hadist bahwa cara ini adalah cara yang paling tinggi tingkatan nya. sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa as sima’ yang dibarengi dengan al kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan lebih kuat. Karena terjamin kebenaran nya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara lain nya. disamping itu, para sahabat juga menerima hadist Nabi dengan cara seperti ini.

Termasuk dalam kategori sama’ juga, seseorang yang mendengarkan hadist dari syeikh dari balik sattar (semacam kain pembatas). Jumhur ulama membolehkan nya karna para sahabat juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadist Rasulullah melalui para istri nya

Menurut Al Qadhi Iyad, yang dikutip oleh Al Suyuthi, didalam cara ini para ulama tidak memperselisihkan kebolehan para rawi dalam meriwayatkan nya menggunakan kata kata:

حدثنا                (seseorang telah menceritakan kepada kami)
أخبرنا                  (seseorang telah mengabarkan kepada kami)
أنبأنا                    (seseorang telah memberitahukan kepada kami)
سمعت فلانا          (saya telah mendengar dari seseorang)                      
قال لنا فلان          (seseorang telah berkata kepada kami)
ذكر لنا فلان         (seseorang telah menuturkan kepada kami)

  1. Al Qira’ah ‘ala Al Syaikh (‘Aradh Al Qira’ah)

Yakni suatu cara seseorang membacakan hadist dihapan guru nya, baik dia sendiri yang membacakan ataupun orang lain, sedang sang guru mendengar atau menyimak nya baik sang guru hafal maupun tidak tetapi ia memegang kitab nya atau mengetahui tulisannya atau ia tergolong tsiqqah.

Ajjaj Al khatib dengan mengutip pendapat imam Ahmad mensyaratkan orang yang membaca itu mengetahui dan memahami apa yang dibaca. Sementara syarat bagi syeikh menurut imam Haramain hendak nya yang ahli dan teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan oleh Qori’, sehingga tahrif maupun tashif dapat terhindarkan. Jika tidak demikian maka proses tahammul tidak sah.

Para ulama sepakat bahwa cara seperti ini dianggap sah. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai derajat al qira’ah. Diantara mereka Abu Hanifa, Ibnu Juraih, Sufyan Al Tsauri menganggap bahwa al qira’a lebih baik jika disbanding al sama’, sebab dalam qira’ah jika bacaan guru salah murid tidak leluasa dalam menolak kesalahan. Tetapi dalam al qira’ah bila bacaan murid salah guru segera membenarkan nya. imam Malik, Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah menganggap bahwa antara al qira’an dan al sama’ mempunyai derajat yang sama. Sementara Ibnu Al Shalah, Imam Nawawi memandang bahwa al sama’ lebih tinggi derajata nya disbanding al qira’ah.

  1. Al Ijazah

Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk  meriwayatkan hadist atau kitab kepada seseorang atau orang orang tertentu. Sekalipun murid tidak membacakan kepada guru nya atau tidak mendengar bacaan guru nya, seperti:
أجزت لك أن تروي عنى (saya mengizinkan kepada mu untuk meriwayatkan dariku)

 Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk meriwayatkan hadist. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadist dengan menggunakan ijazah ini dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan bahkan ada sebagian ulama yang menambahkan bahwa ijazah ini benar benar diingkari. Sedangkan ulama yang memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendak nya sang guru benar benar mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah olah naskah tersebut adalah asli nya serta hendak nya guru yang memberi ijazah itu benar benar ahli ilmu.

Al Qhadi ‘iyad membagi ijazah ini dalam enam macam sedang ibnu Al sholah memambah satu macam lagi, sehingga menjadi tujuh macam. Tujuh macam ijazah tersebut adalah:
1)      Seseorang guru mengijazahkan kepada seseorang tertentu atau kepada beberapa orang tertentu sebuah kitab atau beberapa kitabyang dia sebutkan kepada mereka. Al ijazah seperti ini diperbolehkan menurut jumhur
2)      Bentuk ijazah kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu, seperti “saya ijazahkan kepada mu sesuatu yang saya riwayatkan untuk kamu riwayatkan dariku”. Cara seperti menurut jumhur ulama juga diperbolehkan.
3)      Bentuk ijazah secara umum, seperti ungkapan “saya ijazahkan kepada kaum muslimin atau kepada orang orang yang ada (hadir)
4)      Bentuk Al ijazah kepada orang yang tidak tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu. Cara seperti ini dianggap fasid (rusak)
5)      Bentuk ijazah kepada orang yang tidak ada. Seperti mengijazahkan kepada bayi yang masih dalam kandungan. Bentuk ijazah seperti ini tidak sah
6)      Bentuk ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan atau dibacakan kepada penerima ijazah. Seperti ungkapan “ saya ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku sesuatu yang akan kuperdengarkan kepadamu” cara seperti ini dianggap batal.
7)      Bentuk al ijazah al mujaz, saya ijazahkan kepada mu ijazah ku” bentuk seperti ini diperbolehkan.

  1. Al Munawalah

Yakni seseorang guru memberikan hadist atau beberapa hadist atau kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan, bahwa al munawalah ialah seseorang guru memberi kepada seseorang murid kitab asli yang didengar dari guru nya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan. Sambil berkata “inilah hadist hadist yang sudah saya dengar dari seseorang, maka Riwayatkanlah hadist ini dariku dan saya ijazahkan kepada mu untuk diriwayatkan”.

Al munawalah mempunyai dua bentuk:

1)      Al munawah dibarengi dengan ijazah. Misalnya setelah sang guru menyerahkan kitab nya yang telah ia riwayatkan atau naskah nya yang telah dicocokkan atau beberapa hadist yang telah ditulis, lalu ia katakan kepada murid nya “ini riwayat saya, maka riwayatkanlah dariku”. Termasuk al almunawalah dalam bentuk ini ialah sang murid membacakan naskah yang diperoleh dari guru nya kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada murid nya untuk diriwayatkan dari nya. cara ini menurut Al Qadhi ‘iyad termasuk periwayatan yang dianggap sah oleh para ulama ahli hadist. Hadist hadist yang berdasar atas munawalah bersama ijazah biasa nya menggunakan redaksi “seseorang telah memberitahukan kepada ku/kami)

2)      Al munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru kepada murid nya ”ini hadist saya” “inilah adalah hasil pendengaran ku atau dari periwayatan ku” dan tidak mengatakan “riwayatkan lah dariku atau saya ijazahkan kepada mu. Menurut kebanyakan ulama al munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadist yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan redaksi “ seseorang telah memberikan kepada ku/kami)

Lafadz lafadz yang digunakan untuk memberikan munawalah berbareng dengan ijazah:
هذا سماعى أو روايتى عن فلان فارويه
“Ini adalah hasil pendengaran ku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah!”

Lafadz Munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah:
هذا سماعى أو من روايتى
“Ini adalah hasil pendengaran ku atau berasal dari periwayatan ku”
Yang diucapkan bersama sama dengan memberikan naskah atau salainan kepada murid nya.

           Lafadz yang digunakan oleh Rawy dalam meriwayatkan hadist atas dasar:
Munawalah bersama ijazah,
أنبأنى , أنبانا   (seseorang telah memberitahukan kepada ku/kami)
Munawalah tidak bersama ijazah,
ناولنى, ناولنا   (seseorang telah memberikan kepada ku/kami)

  1. Al Mukatabah

 Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadist nya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapan nya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikan nya.

Al mukatabah ada dua macam:

1)      Al mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadist untuk diberikan kepada murid nya disertai dengan kata kata “ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya ijazahkan kepada mu untuk meriwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al mukatabah dalam bentuk ini sama halnya dengan al munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat diterima.
Contoh:
أجزت لك ما كتبته إليك, أجزت ما كتبت به إليك   “ku izinkan apa apa yang telah aku tulis kepada mu”

2)      Al mukatabah yang tidak dibarengi dengan al ijazah, yakni guru memberikan hadist untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan atau mengijazahkan. Al mukatabah dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama Syafi’iyah dan ulama usul menganggap sah periwayatan dengan cara ini. Sedangkan Al Mawardi menganggap tidak sah.
Contoh:
قال حدثنا فلان        “telah memberitakan seseorang kepada ku”

  1. Al I’lam

Yakni pemberitahuan seseorang kepada murid, bahwa kitab atau hadist yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberi izin kepada muridnya untuk meriwayatkan nya. sebagiab ulama ahli ushul dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Al Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadist dengan cara ini. Karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya. Sedangkan pendapat ulama ahli hadist, ahli fiqh dan ahli ushul memperbolehkannya.

Contoh: أعلمنى فلان قال حدثنا    “seseorang telah memberitahukan kepada ku: “telah berkata kepada kami…”

  1. Al Wasiyah

Yakni seorang guru ketika akan meninggal atau berpergian meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadist atau kitab nya, setelah sang guru meninggal atau bepergian. Periwayatan hadist dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara ibnu sirin membolehkan mengamalkan hadist yang diriwayatkan nya atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadist dari sipemberi wasiat dengan redaksi 
حدثنى فلان بكذا   (seseorang telah memberitahukan kepadaku begini), karena si penerima wasiat tidak bertemu dengannya.
Tetapi lafadz yang dipakai untuk menyampaikan hadist berdasarkan wasiat seperti:[7]
اوصى إلي فلان بكتاب قال فيه حدثنا .....  “seseorang telah berwasiat kepada ku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu: “telah bercita kepada mu……”

  1. Al Wijadah

Yakni, seseorang memperoleh hadist orang lain dengan mempelajari kitab kitab hadist dan tidak melalui cara al sama’, al ijazah, ataupun al munawalah. Para ulama berselisih pendapat mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadist dan ahli fiqh dari mazhab Malikiyah tidak memperbolehkan periwayatan hadist dengan cara ini. Imam Syafi’I dan segolongan pengikut nya memperbolehkan beramal dengan hadist yang periwayatan nya melalui cara ini. Ibnu al Shalah menagtakan, bahwa sebagian ulama muhaqqiqin mewajibkan mengamalkan nya bila diyakini kebenaran nya.

Lafadz lafadz yang digunakan, ialah seperti:
قرأت بخط فلان   (saya telah membaca khath seseorang)

  1. Periwayatan Hadist

Sebagaiman yang telah kita tulis diatas, bahwa al ada` ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadist kepada orang lain. Oleh karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu menuntut pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidak nya suatu hadist juga sangat tergantung pada nya. Mengingat hal hal seperti ini, jumhur ahli hadist, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadist.
Yakni sebagai berikut:

  1. Islam

Pada waktu meriwayatkan suatu hadist, maka seorang perawi harus muslim. Dan menurut ijma’, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja, kita disuruh bertawakuf, apalagi perawi yang kafir, kaitannya dengan masalh ini bias kita bandingkan dengan firman Allah:

يا أيها الذين امنوا إن جاءكم فاسق بنيإ  فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين
Artinya:
Hai orang orang yang beriman, apabila dating kepadamu orang orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatan mu itu. (Al Hujurat 49: 6)

  1. Baligh

Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist, walau penerimanya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah:

رفع القلم عن ثلاثة عن المجنون المغلوب عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق و عن النائم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم
Artinya:
Hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan , yaitu, orang gila sampai ia sembuh, orang yang tidur sampai bangun, dan anak anak sampai ia mimpi. (H.R Abu Daud dan Nasi’)

  1. ‘Adalah

Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai jiwa tersebut, tetap taqwa menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenaran nya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal hal mubah tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadiannya.

  1. Dhabit

Dhabit ialah:

تيقظ الراوى حين تحمله و فهمه لما سمعه و حفظه لذالك من وقت التحمل إلى وقت الاداء
 “teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadist yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya”

Cara mengetahui kedhabitan perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita berita nya dengan berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.

Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat syarat yang sebagaimana disebutkan diatas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadist yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadist hadist yang lebih kuat ayat ayat Al Qur’an

  1. Kesimpulan

Para ulama hadist menggolongkan metode menerima periwatan suatu hadist menjadi delapan macam:
1)      Sama’ min lafdzi Syaikh
2)      Al Qira’ah ‘ala Al Syaikh (‘Aradh Al Qira’ah)
3)      Al Ijazah
4)      Al Munawalah
5)      Al Mukatabah
6)      Al I’lam
7)      Al Wasiyah
8)       Al Wijadah

jumhur ahli hadist, ahli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadist. Yakni:

1)      Islam
2)      Baligh
3)      ‘adalah
4)      Dhabit





























DAFTAR PUSTAKA

Drs. Munzier Suparta, ILMU HADIST, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003
Drs. Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalahul Hadis, Bandung, PT Al ma’arif, 1985, Cet ke-IV
Prof. Dr. T.M Hasbi ash shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Jakarta, Bulan Bintang, 1974, Cet ke-IV
Drs. M. Syuhudi Ismail, pengantar ilmu hadits, Bandung, Angkasa, 1994


[1] Drs. Munzier Suparta, MA. Ilmu hadis, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003, hal. 195
[2] Drs. M. Syuhudi Ismail, pengantar ilmu hadis, Bandung, Angkasa, 1994, Hal. 83
[3] Ibid. hal. 85
[4] Ibid Hal. 85
[5] Drs. Munzier Suparta, MA. Op. cit. hal. 195
[6] Ibid.  hal. 196

[7] Drs. Fathur rahman, ikhtisar musthalahul hadis, Bandung, PT Al ma’arif, 1985 hal. 219

 Al hamdulillah, makalah ini telah kami selsaikan dan kami publikasikan agar dapat membantu mereka yang mungkin berniat mempelajari nya. Hal yang mungkin kurang anda pahami dapat dicari dalam buku referensi yang kami cantumkan. terima kasih salam'alaikum warahmatullahi wabarakatuh 

1 komentar: